Showing posts with label Politik. Show all posts
Showing posts with label Politik. Show all posts
Seorang warga DKI pendukung Ahok yang berprofesi sebagai Tukang Ojek pada suatu senja terlihat berdiskusi dengan sahabat karibnya.
Ahoker: "Mas, Ahok kan jujur, kita harus pilih dia"
Bahoker: "Bagaimana mengukur kejujuran menurut anda?"
Ahoker: "Ya bisa dilihat dari keberanian nya melawan koruptor. Dia sangat tegas"
Bahoker: "Ketegasan saja tak bisa dijadikan sebagai alat ukur sebuah kejujuran. Bisa jadi tegas nya untuk menutup kekeliruannya. Bukannya dia malah tersangkut banyak kasus korupsi? Kasus Pengadaan Bus Trans Jakarta, UPS, Reklamasi & Sumber Waras adalah beberapa kasus yang melibatkan dia, ketika dia menjadi pengambil kebijakan utama."
Ahoker: "Tapi dia tetap jujur mas. Buktinya dia berani dalam persidangan"
Bahoker: "Banyak yang berani dalam persidangan. Tapi yang beberapa kali bilang lupa, baru Ahok yang saya tahu. Pernah tanda tangan izin reklamasi dia lupa. Pernah tanda tangan kasus UPS dia sempat bilang lupa juga, malah nuduh Jokowi. Keberanian mengikuti persidangan tak bisa dijadikan alat ukur kejujuran."
Ahoker: "Lalu bagaimana cara mengukur kejujuran seseorang?"
Bahoker: "Kejujuran adalah soal hati. Tak mudah memang mengukur nya. Namun bisa kita lihat dari konsistensinya. Dalam kasus reklamasi misalnya, apakah dia konsisten mengatakan bahwa izin reklamasi bukan dia yang mengeluarkan? Atau dalam kasus Suni. Apakah dia konsisten mengatakan posisi Suni dalam pemprov DKI? Sekali waktu dia bilang anak magang, sekali waktu dia bilang diberikan kewenangan menjadi koresponden proyek reklamasi. Atau dalam hal pencalonan dia menjadi Cagub Pilkada DKI 2017. Sekali waktu dia melecehkan partai, tak akan mau dicalonkan lewat jalur partai. Bahkan pernah bilang, kalau harus lewat jalur partai, lebih baik tak calonkan gubernur jika harus meninggalkan TemanAhok. Kenyataanya? Dia jiat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan. Pada kasus lain soal cuti kampanye, dulu Ahok ngotot mendukung cuti. Sekarang ngotot dia gak mau cuti kampanye. Dan masih banyak kasus inkonsistensi Ahok lainnya. Apakah orang tak konsisten bisa dipegang kejujurannya?"
Ahoker: "Tapi dia adalah orang yang bertanggung jawab atas keputusannya"
Bahoker: "Bagaimana mungkin kita bisa bilang dia adalah orang yang bertanggung jawab sementara dalam banyak kesempatan dia sering menyalahkan pihak lain atas kinerja buruknya. Saya ambil contoh soal banjir misalnya. Silakan Googling, berapa banyak pihak yang disalahkan oleh dia dan tak terbukti sama sekali kebenaran tuduhan nya itu. Fakta nya banjir masih melanda DKI Jakarta setelah dia menyalahkan sana sini".
Ahoker: "Tapi dia banyak prestasi dalam kerjanya"
Bahoker: "Bisa anda sebutkan apa saja prestasi nya?"
Ahoker: "Ada pembangunan MRT yang dulu nya mangkrak. Dia juga mampu meningkatkan perekonomian Jakarta. Pembangunan terus berjalan"
Bahoker: "Argumentasi anda itu lemah. Keberhasilan pembangunan itu parameter nya jelas. Alat ukurnya jelas pula yang terukur secara kuantitatif, bukan kualitatif atau sekedar opini. Anda bisa buka portal BPS misalnya. Banyak sekali parameter ukur terkait keberhasilan pembangunan. Sebut saja misalnya kualitas perencanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, peningkatan shortfall, perbaikan Gini Rasio, pencapaian serapan anggaran, dan lain sebagainya. Silakan diamati, apakah Ahok lebih berhasil dari Gubernur sebelumnya dalam beberapa indikator ekonomi. Faktanya, dalam serapan anggaran saja misalnya, semasa dia memimpin, serapan anggaran DKI adalah yang terburuk. Bahkan terendah dari semua provinsi. Kemenpan juga memberikan penilaian tak bagus, hanya urutan 18 dari seluruh provinsi. Apakah itu yang dinamakan berhasil dan kinerjanya hebat?"
Ahoker: "Tapi dia masih banyak pendukung nya dari survei yang diadakan"
Bahoker: "Survei dari lembaga mana? Independen tidak? Sampel responden yang digunakan dalam survei sudah mewakili karakteristik populasi belum? Sudah bukan rahasia umum kalau lembaga-lembaga survei syarat dengan kepentingan. Survey by order. Lihat saja faktanya, demo menolak Ahok jauh lebih besar dibanding demo dukung Ahok yang hanya beberapa gelintir orang. Lagi pula kalau pun elektabilitas Ahok itu tinggi, apakah kita akan memilih dia yang kinerjanya terbukti jeblog dan tak memenuhi syarat seorang pemimpin seperti yang saya sudah jelaskan sebelumnya?"
Ahoker: "Tapi...."
Bahoker: "Sudahlah, anda kan muslim. Kembalikan saja pada Alquran dan Hadits dalam mendapatkan kaidah bagaimana memilih seorang pemimpin yang benar. Larangan mengangkat pemimpin kafir itu sudah jelas. Sebagian besar fatwa ulama mengharamkannya. Ibarat syarat nikah, Ahok ini belum cukup umur dan belum disunat. Jadi sudah tidak memenuhi syarat dasar. Dia tidak memiliki syarat dasar untuk menjadi pemimpin kaum muslimin karena kekafiran nya.
Bahkan kalau pun anda bukan muslim. Adakah perintah Tuhan dalam kitab suci mana pun yang menganjurkan manusia berkata kotor? Atau adakah suatu ayat yang menyatakan "Dalam perkataan yang kotor terdapat hati yang bersih"? Dia Kristen, tapi dia mencela agama nya sendiri dengan mengatakan ajaran Kristen konyol.
Tapi itu pun terserah anda saja. Saya hanya mengingatkan bahwa setiap keputusan yang kita ambil, apalagi terkait keputusan memilih seorang pemimpin yang berpengaruh terhadap kebaikan orang banyak, pasti akan dimintai pertanggung jawaban nya di dunia maupun akhirat kelak.
Janganlah kita mengikuti sesuatu yang kita tak memiliki pengetahuan yang memadai terkait yang diikuti tersebut.
Ahoker: "Tapi mas..."
Bahoker: "Anda kebanyakan 'tapi' tanpa menyertakan data dalam berargumen. Daripada mendebat tanpa data, mendingan kita makan saja yuk. Saya yang traktir deh. Saya tahu anda sedang menurun pendapatannya akibat kebijakan Ahok terkait pelarangan motor melewati jalan protokol kan?"
Ahoker: "Iya mas.."
Bahoker: "Tapi jangan sampai ketemu restoran yang ada menu daging anjing nya ya. Sebab kemarin baru saja dilegalkan Ahok peredaran nya. Yuk cap cuss..." :)
Ahoker: "Mas, Ahok kan jujur, kita harus pilih dia"
Bahoker: "Bagaimana mengukur kejujuran menurut anda?"
Ahoker: "Ya bisa dilihat dari keberanian nya melawan koruptor. Dia sangat tegas"
Bahoker: "Ketegasan saja tak bisa dijadikan sebagai alat ukur sebuah kejujuran. Bisa jadi tegas nya untuk menutup kekeliruannya. Bukannya dia malah tersangkut banyak kasus korupsi? Kasus Pengadaan Bus Trans Jakarta, UPS, Reklamasi & Sumber Waras adalah beberapa kasus yang melibatkan dia, ketika dia menjadi pengambil kebijakan utama."
Ahoker: "Tapi dia tetap jujur mas. Buktinya dia berani dalam persidangan"
Bahoker: "Banyak yang berani dalam persidangan. Tapi yang beberapa kali bilang lupa, baru Ahok yang saya tahu. Pernah tanda tangan izin reklamasi dia lupa. Pernah tanda tangan kasus UPS dia sempat bilang lupa juga, malah nuduh Jokowi. Keberanian mengikuti persidangan tak bisa dijadikan alat ukur kejujuran."
![]() |
Klaim Ahok dan fakta berbeda |
Ahoker: "Lalu bagaimana cara mengukur kejujuran seseorang?"
Bahoker: "Kejujuran adalah soal hati. Tak mudah memang mengukur nya. Namun bisa kita lihat dari konsistensinya. Dalam kasus reklamasi misalnya, apakah dia konsisten mengatakan bahwa izin reklamasi bukan dia yang mengeluarkan? Atau dalam kasus Suni. Apakah dia konsisten mengatakan posisi Suni dalam pemprov DKI? Sekali waktu dia bilang anak magang, sekali waktu dia bilang diberikan kewenangan menjadi koresponden proyek reklamasi. Atau dalam hal pencalonan dia menjadi Cagub Pilkada DKI 2017. Sekali waktu dia melecehkan partai, tak akan mau dicalonkan lewat jalur partai. Bahkan pernah bilang, kalau harus lewat jalur partai, lebih baik tak calonkan gubernur jika harus meninggalkan TemanAhok. Kenyataanya? Dia jiat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan. Pada kasus lain soal cuti kampanye, dulu Ahok ngotot mendukung cuti. Sekarang ngotot dia gak mau cuti kampanye. Dan masih banyak kasus inkonsistensi Ahok lainnya. Apakah orang tak konsisten bisa dipegang kejujurannya?"
![]() |
Ahok tak konsisten soal cuti kampanye |
![]() |
Ahok tak konsisten soal Sunny |
![]() |
Ahok tak konsisten soal jalur pencalonan |
![]() |
Ahok tak konsisten nantang duel |
Ahoker: "Tapi dia adalah orang yang bertanggung jawab atas keputusannya"
Bahoker: "Bagaimana mungkin kita bisa bilang dia adalah orang yang bertanggung jawab sementara dalam banyak kesempatan dia sering menyalahkan pihak lain atas kinerja buruknya. Saya ambil contoh soal banjir misalnya. Silakan Googling, berapa banyak pihak yang disalahkan oleh dia dan tak terbukti sama sekali kebenaran tuduhan nya itu. Fakta nya banjir masih melanda DKI Jakarta setelah dia menyalahkan sana sini".
![]() |
Ahok salahkan pihak lain |
![]() |
Penyebab banjir Ahok salahkan pihak lain |
Ahoker: "Tapi dia banyak prestasi dalam kerjanya"
Bahoker: "Bisa anda sebutkan apa saja prestasi nya?"
Ahoker: "Ada pembangunan MRT yang dulu nya mangkrak. Dia juga mampu meningkatkan perekonomian Jakarta. Pembangunan terus berjalan"
Bahoker: "Argumentasi anda itu lemah. Keberhasilan pembangunan itu parameter nya jelas. Alat ukurnya jelas pula yang terukur secara kuantitatif, bukan kualitatif atau sekedar opini. Anda bisa buka portal BPS misalnya. Banyak sekali parameter ukur terkait keberhasilan pembangunan. Sebut saja misalnya kualitas perencanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, peningkatan shortfall, perbaikan Gini Rasio, pencapaian serapan anggaran, dan lain sebagainya. Silakan diamati, apakah Ahok lebih berhasil dari Gubernur sebelumnya dalam beberapa indikator ekonomi. Faktanya, dalam serapan anggaran saja misalnya, semasa dia memimpin, serapan anggaran DKI adalah yang terburuk. Bahkan terendah dari semua provinsi. Kemenpan juga memberikan penilaian tak bagus, hanya urutan 18 dari seluruh provinsi. Apakah itu yang dinamakan berhasil dan kinerjanya hebat?"
![]() |
Perumbuhan Ekonomi Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011-2015 |
![]() |
Gini Rasio Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011-2015 |
![]() |
Target dan Realisasi Anggaran Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011-2015 |
Ahoker: "Tapi dia masih banyak pendukung nya dari survei yang diadakan"
Bahoker: "Survei dari lembaga mana? Independen tidak? Sampel responden yang digunakan dalam survei sudah mewakili karakteristik populasi belum? Sudah bukan rahasia umum kalau lembaga-lembaga survei syarat dengan kepentingan. Survey by order. Lihat saja faktanya, demo menolak Ahok jauh lebih besar dibanding demo dukung Ahok yang hanya beberapa gelintir orang. Lagi pula kalau pun elektabilitas Ahok itu tinggi, apakah kita akan memilih dia yang kinerjanya terbukti jeblog dan tak memenuhi syarat seorang pemimpin seperti yang saya sudah jelaskan sebelumnya?"
![]() |
Demo tolak Ahok |
Bahoker: "Sudahlah, anda kan muslim. Kembalikan saja pada Alquran dan Hadits dalam mendapatkan kaidah bagaimana memilih seorang pemimpin yang benar. Larangan mengangkat pemimpin kafir itu sudah jelas. Sebagian besar fatwa ulama mengharamkannya. Ibarat syarat nikah, Ahok ini belum cukup umur dan belum disunat. Jadi sudah tidak memenuhi syarat dasar. Dia tidak memiliki syarat dasar untuk menjadi pemimpin kaum muslimin karena kekafiran nya.
Bahkan kalau pun anda bukan muslim. Adakah perintah Tuhan dalam kitab suci mana pun yang menganjurkan manusia berkata kotor? Atau adakah suatu ayat yang menyatakan "Dalam perkataan yang kotor terdapat hati yang bersih"? Dia Kristen, tapi dia mencela agama nya sendiri dengan mengatakan ajaran Kristen konyol.
Tapi itu pun terserah anda saja. Saya hanya mengingatkan bahwa setiap keputusan yang kita ambil, apalagi terkait keputusan memilih seorang pemimpin yang berpengaruh terhadap kebaikan orang banyak, pasti akan dimintai pertanggung jawaban nya di dunia maupun akhirat kelak.
Janganlah kita mengikuti sesuatu yang kita tak memiliki pengetahuan yang memadai terkait yang diikuti tersebut.
![]() |
Ahok dan larangan perkataan kotor |
Bahoker: "Anda kebanyakan 'tapi' tanpa menyertakan data dalam berargumen. Daripada mendebat tanpa data, mendingan kita makan saja yuk. Saya yang traktir deh. Saya tahu anda sedang menurun pendapatannya akibat kebijakan Ahok terkait pelarangan motor melewati jalan protokol kan?"
Ahoker: "Iya mas.."
Bahoker: "Tapi jangan sampai ketemu restoran yang ada menu daging anjing nya ya. Sebab kemarin baru saja dilegalkan Ahok peredaran nya. Yuk cap cuss..." :)
Obyektifitas dapat terukur dari ketidakenakan dan keengganan kita mengkritisi diri sendiri dan orang-orang yang secara emosional dekat dengan kita.
Jika ketidakobyektifan ini menjadi kebiasaan dan diwajarkan, maka kecenderungan untuk berlaku adil semakin memudar.
Perilaku adil yang dilandasi persatuan dan kemauan yang tinggi pada nilai-nilai musyawarah menjadi gerbang utama mencapai kemakmuran.
Memahami konsep keadilan pada manusia diawali dari pemahaman yang mendalam pada nilai-nilai keadilan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Tuhan pula yang mengajarkan manusia untuk tidak berpecah belah walau dalam suasana perbedaan dengan cara mengedepankan musyawarah.
Jika ketidakadilan berlaku pada sebuah bangsa, maka kreatifitas hampir dipastikan akan terbunuh. Dan jika kemakmuran mensyaratkan kreatifitas, maka kemakmuran tidak akan terwujud tanpa keadilan.
Sehingga dapat disimpulkan sementara bahwa ketidakobyektifan berfikir sangat dipengaruhi oleh suasana hati. Ketidakobyektifan ini mengakibatkan ketidakadilan kemudian menyebabkan terjadinya perpecahan dan pemaksaan kehendak yang berujung pada kehancuran dan ketidakmamuran.
Mungkin para pendiri negeri ini sudah amat memahami konsep ini sehingga Pancasila memberikan 5 dasar yang dimulai dengan sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" kemudian diikuti dengan "Kemanusiaan yang adil dan beradab", "Persatuan Indonesia", "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", dan diakhiri dengan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Para pendiri bangsa Yang dominan muslim amat memahami bahwa perilaku mentauhidkan Tuhan, perilaku adil, persatuan, dan musyawarah untuk mewujudkan kemakmuran adalah esensi dari ajaran Islam dalam konteks hubungan kemanusiaan.
Apakah nilai-nilai ini masih ada pada diri kita semua?
Sebelum berbagi pemahaman kepada yang lain, yuk memulai target kemakmuran dengan mengawalinya dari perilaku obyektif pada diri sendiri dan orang tercinta sekitar kita.
Berdamailah pada diri sendiri atas segala kekeliruan yang telah dan selalu diingatkan oleh hati nurani.
Untuk dapat menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial harus mengutamakan musyawarah. Untuk terbiasa musyawarah harus tercipta persatuan. Untuk bisa bersatu harus memiliki sikap adil dan beradab. Dan pada akhirnya sikap adil dan beradab akan terwujud jika kita berketuhanan kepada Yang Esa dengan menjalankan ajaran agama dengan benar.
Wallahu a'lam...
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim
Tidaklah mudah bagi saya untuk sepenuhnya bersikap netral dan obyektif membahas kebijakan Orde Baru terhadap Masyumi dan Islam, sebagaimana yang diminta oleh Republika, apalagi waktu yang diberikan untuk menulisnya sangatlah terbatas, kurang dari sehari. Karena itu, saya menuliskan artikel ini hanya berdasarkan ingatan saya belaka.Saya katakan sukar untuk bersikap netral dan obyektif karena sedikit-banyaknya saya terlibat dalam episode sejarah itu, baik langsung maupun tidak langsung. Ketika saya berumur hampir lima tahun, saya menyaksikan ayah saya dan sejumlah tokoh Masyumi lokal, menurunkan papan nama partai itu, karena mereka dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno, pada akhir tahun 1960. Soekarno menerbitkan Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Kesadaran Soeharto terhadap Islam mulai tumbuh ketika usianya kian senja. Dalam Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1985, tanpa diduga Soeharto mengatakan bahwa dia bersyukur pernah mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Padahal kata-kata itu tidak ada dalam teks pidato resminya yang disiapkan Mensesneg Moerdiono. Warga Muhammadiyah seolah mendapat angin segar. Saya mendengar sejak itu ada pengajian agama Islam yang dilakukan diam-diam di rumah Soeharto. Pelan-pelan Soeharto mulai menampakkan sosok keislamannya. Dia mendukung upaya Munawir Sadjzali untuk menciptakan UU Peradilan Agama pada tahun 1989, dan kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam. Dua hal semacam ini hampir mustahil terjadi di awal maupun di pertengahan usia Orde Baru. Di masa itu, setiap pembicaraan mengenai hukum Islam dan lembaga-lembaganya, dengan mudah akan dituduh untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Tidaklah mudah bagi saya untuk sepenuhnya bersikap netral dan obyektif membahas kebijakan Orde Baru terhadap Masyumi dan Islam, sebagaimana yang diminta oleh Republika, apalagi waktu yang diberikan untuk menulisnya sangatlah terbatas, kurang dari sehari. Karena itu, saya menuliskan artikel ini hanya berdasarkan ingatan saya belaka.Saya katakan sukar untuk bersikap netral dan obyektif karena sedikit-banyaknya saya terlibat dalam episode sejarah itu, baik langsung maupun tidak langsung. Ketika saya berumur hampir lima tahun, saya menyaksikan ayah saya dan sejumlah tokoh Masyumi lokal, menurunkan papan nama partai itu, karena mereka dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno, pada akhir tahun 1960. Soekarno menerbitkan Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Apa yang ada di kepala orang Masyumi waktu itu ialah Soekarno mulai menjadi diktator dan negara makin bergerak ke arah kiri. Dalam perhitungan mereka, tanpa Masyumi, maka kekuatan PKI akan semakin besar dan sukar dibendung. PNI sebagai representasi kelompok nasionalis, telah dintrik dan diintervensi oleh kekuatan kiri melalui kelompok Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Kendatipun memiliki basis massa yang besar, elit politisi NU dibawah pimpinan Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri, takkan kuat menghadapi Soekarno dan PKI sendirian. Apalagi, makin nampak kecenderungan akomodatif NU untuk menerima posisi representasi kelompok agama dalam poros Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), suatu hal yang ditentang keras oleh Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi memang dihadapkan pada dilema dengan Keppres 200/1960 itu. Menolak melaksanakan pembubaran diri, berarti secara hukum, partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Karena itu, mereka memilih alternatif yang juga tidak menyenangkan yakni membubarkan diri, dengan harapan suatu ketika partai itu akan hidup kembali, jika situasi politik telah berubah. Prawoto sendiri mengatakan, Keppres 200/1960 itu ibarat vonis mati dengan hukuman gantung, sementara eksekusinya dilakukan oleh si terhukum itu sendiri. Memang terasa menyakitkan.
Meskipun Masyumi telah membubarkan diri, dan tokoh-tokohnya yang terlibat dalam PRRI telah memenuhi panggilan amnesti umum dan mereka menyerah, namun perlakuan terhadap mereka tetap saja jauh dari hukum dan keadilan. Tokoh-tokoh Masyumi yang menyerah itu, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Boerhanoeddin Harahap ditangkapi. Bahkan mereka yang tidak terlibat PRRI seperti Prawoto, Mohamad Roem, Yunan Nasution, Isa Anshary, Kasman Singodimedjo, Buya Hamka dan yang lain, juga ditangkapi tanpa alasan yang jelas. Bertahun-tahun mereka mendekam dalam tahanan di Jalan Keagungan, Jakarta, tanpa proses hukum. Ini terang suatu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan Sukarno. Tokoh utama PSI, Sutan Sjahrir bahkan mendekam dalam penjara di sebuah pulau di lautan Hindia, di sebelah selatan daerah Banten. Dalam kondisi tahanan yang buruk, Sjahrir sakit, sampai akhirnya wafat walau mendapat perawatan di Swiss. Tokoh PSI yang lain, Soebadio Sastrosatomo dan Hamid Algadri juga ditahan. Perlakuan terhadap anak-anak dan keluarga orang Masyumi di masa itu hampir sama saja dengan perlakuan keluarga PKI di masa Orde Baru. Ketika itu PKI sedang jaya. Ketika mereka sedang jaya, mereka juga membantai orang-orang Masyumi di Madiun tahun 1948, dan menculik dan menghilangkan paksa orang-orang Masyumi di Jawa Barat dan tempat-tempat lain. Hendaknya sejarah jangan melupakan semua peristiwa ini. Di era Reformasi sekarang, banyak aktivis HAM hanya berbicara tentang orang-orang PKI pasca G 30 S yang menjadi korban pembantaian Orde Baru, tetapi mereka melupakan orang-orang Masyumi yang menjadi korban pembantaian dan penghilangan paksa PKI, ketika mereka masih jaya-jayanya.
Sebab itulah, ketika Orde Lama runtuh pasca Gerakan 30 September 1965, ada secercah harapan di kalangan keluarga besar Masyumi agar mereka hidup dan berkiprah kembali. Presiden Soekarno yang dianggap berbuat sewenang-wenang kepada Masyumi dengan dukungan PKI, dicabut kekuasaannya oleh MPRS pada tahun 1967. Sama seperti Soekarno yang membubarkan Masyumi, Soeharto juga membubarkan PKI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPRS. MPRS bahkan mengamanatkan kepada Pejabat Presiden Soeharto untuk mengambil langkah hukum yang tegas kepada mantan Presiden Soekarno. Namun amanat MPRS itu tak pernah dilaksanakan Soeharto sampai akhir hayat Bung Karno dengan alasan “mikul dhuwur mendem jero”. Orde Baru di bawah kepemimpinan Jendral Soeharto mendapat dukungan luas dari umat Islam, dan kedua sayap politik Islam, baik kubu eks Masyumi maupun kubu NU. Dukungan mereka berikan karena sikap tegas Soeharto kepada Komunisme dan langkah-langkah nyatanya untuk memperbaiki ekonomi yang ketika itu sangat morat-marit. Di akhir kekuasaan Soekarno, rakyat hidup mulai kelaparan dan compang-camping akibat inflasi yang tak terkendali. Tiap hari rakyat hanya disuguhi pidato-pidato dan slogan-slogan berapi-api untuk mengobarkan semangat “Revolusi yang belum selesai” dan kegiatan menentang Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme), tanpa upaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki nasib rakyat yang sudah lama menderita.
Kebanyakan orang-orang Masyumi itu berpikir strukturalis dan bahkan cenderung formalis. Tak lama sesudah tokoh-tokoh Masyumi dikeluarkan dari tahanan, mereka mulai bergerak untukmerehabilitasi partai itu. Partai adalah alat untuk mencapai tujuan. Karena itu, keberadaan Masyumi adalah keharusan. Dukungan untuk merehabilitasi Masyumi juga datang dari Persahi. Para ahli hukum mengeluarkan statemen yang ditandatangani Dr. Wirjono Prodjokiduro, agar Masyumi direhabilitasi, karena partai itu adalah korban kesewenang-wenangan Orde Lama. Padahal Wirjono pula, yang ketika menjadi Ketua Mahkamah Agung, memberikan fatwa kepada Soekarno tentang keabsahan alasan hukum untuk membubarkan Masyumi berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 1959 tentang Penyederhanaan dan Pembubaran Partai Politik. Penpres itu sendiri sangat kontroversial, karena tidak ada dasar hukum keberadaannya. Prawoto Mangkusasmito mengatakan bahwa Penpres itu adalah langkah sepihak Presiden Soekarno untuk menyeleksi mana partai yang mendukung Revolusi pro Nasakom dan mana yang menentangnya.
Namun keinginan tokoh-tokoh Masyumi untuk merehabilitasi partainya segera menghadapi tembok penghalang yang kukuh. Soeharto dan para jendral pemegang kendali Orde Baru, ternyata cenderung bersikap anti ideologi. Mereka bukan saja anti Komunis, tetapi juga anti Islam yang ditransformasikan sebagai ideologi dan kekuatan politik. Slogan terkenal Orde Baru sejak kelahirannya ialah “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”. Mereka mempunyai tafsir sendiri terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijadikan doktrin dan pijakan ideologis Orde Baru. Dalam komunikasi politik yang dibangunnya, Orde Baru mengatakan bahwa mereka tidak berorientasi ideologi. Mereka ingin membangun. Mereka cenderung “anti politik” dan mengedepankan langkah pragmatis untuk menyelesaikan persoalan sosial ekonomi yang amat berat. Kekuatan politik baru muncul dibalik Orde Baru, yakni militer dan teknokrat pragmatis, sebagiannya berorientasi ideologis kepada PSI dan kalangan politisi dan teknokrat non Muslim. Sebagai mesin politik, mereka mereorganisasi Sekber Golkar menjadi Golongan Karya (Golkar), yang mereka katakan bukan partai politik seperti halnya partai-partai yang lain.
Meskipun menolak rehabilitasi Masyumi, namun Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral Soeharto sedia berkompromi untuk mewadahi kelompok eks Masyumi, dengan memberi peluang kepada mereka mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).Namun penguasa Orde Baru menolak eks tokoh-tokoh Masyumi memimpin partai itu. Jangankan Natsir dan Prawoto, Mohamad Roem yang dikenal sangat moderat, diplomatis dan kompromis juga ditolak. Djarnawi Hadikusuma, tokoh muda Muhammadiyah yang dikukuhkan menjadi Ketua Parmusi juga terganjal, sampai akhirnya dengan dukungan penguasa, partai itu dikomandani oleh Jailani Naro yang tak begitu jelas akar keterlibatannya dalam gerakan politik Islam di masa lalu.
Itulah awal keterlibatan kekuasaan dalam mengintervensi suatu kekuatan politik. Sejak itu, hampir tidak ada partai yang sepenuhnya independen dan berdaulat. Setiap calon pimpinan sebuah partai, memerlukan “restu” atau persetujuan penguasa. Intervensi kekuasaan, baik terang-terangan maupun secara terselubung melalui operasi intelejens, selalu membayangi setiap partai dan gerakan politik manapun juga. Bahkan lebih jauh dari itu, setiap organisasi – termasuk organisasi sosial, kepemudaan dan profesi — gerakan kampus bahkan sampai ke mesjid-mesjid tidak sunyi dari pantauan intelejens. Orde Baru melakukan rekayasa sosial dan politik yang efektif melaluiDwi Fungsi ABRI. TNI dan POLRI bukan saja kekuatan pertahanan dan keamanan, tetapi juga kekuatan sosial dan politik. TNI dan POLRI mendapat jatah kursi di DPR, MPR dan DPRD. TNI melalui Kodam, Kodim dan Koramil, aktif memantau semua gerakan politik, bahkan melakukan intervensi terhadap semua kegiatan itu, demi menjaga “stabilitas nasional” untuk kelangsungan pembangunan.
Meskipun telah menghirup udara bebas, tokoh-tokoh inti Masyumi secara perlahan mulai tersingkir dari panggung politik, sejalan dengan menguatnya Orde Baru. Mohammad Natsir dan rekan-rekannya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan mulai memusatkan perhatian mereka ke bidang dakwah, sambil tetap bersikap kritis kepada Pemerintah Orde Baru. Dulu kita berpolitik, sekarang kita berdakwah. Nanti hasilnya akan sama saja, kata Natsir kepada saya suatu ketika.Natsir mungkin benar. Dakwah Islam akan makin meluas dan tak terbendung, justru ketika kiprah politik mereka menghadapi hambatan. Natsir dan kawan-kawannya mulai menyadari bahwa mereka mulai tua. Mereka mulai berpikir untuk membangun kesadaran keagamaan kepada masyarakat menuju masa depan. Mereka perlu menyiapkan generasi penerus bangsa yang dilandasi semangat dan komitmen Keislaman. Untuk itu dakwah dalam arti seluas-luasnya, terutama di kampus-kampus, harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Orde Baru merancang format politik dan pembangunan Indonesia ke depan secara sistematik dan terencana. CSIS (Center for Strategic and International Studies) menjadi salah satu lembaga kajian yang tersohor dalam merumuskan dan memback-up konsep-konsep pembangunan Orde Baru dengan berbagai rekayasanya. Buku Ali Moertopo yang berjudul “Akselerasi Modernisasi 25 Tahun” yang diterbitkan CSIS adalah salah satu “buku sakti” yang memuat perencanaan itu. Dari buku itu saja suda tergambar bahwa Presiden Soeharto telah dirancang untuk menjadi Presiden minimal 5 periode, atau lima kali Pelita (Pembangunan Lima Tahun) sampai saatnya Indonesia tinggal landas dalam pembangunan ekonomi. Dalam rekayasa politik, partai-partai dikelompokkan berdasarkan program, bukan lagi berdasarkan ideologi. Akhirnya partai-partai Islam berfusi dengan tekanan penguasa ke dalam Partai Persatuan Pembangunan, dan partai-partai nasionalis, Kristen dan Katolik ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. Sejak itu selalu dikatakan bahwa di negara kita ini ada dua partai politik dan satu Golongan Karya. Golongan Karya (Golkar) meskipun memenuhi segala syarat dan rukun – kalau menggunakan istilah fikih – untuk disebut sebagai partai politik, menolak menyebut dirinya sebagai partai.
Pancasila menjadi satu-satunya ideologi bagi semua kekuatan politik dan UUD 1945 menjadi landasan operasionalnya dengan tafsiran khas Orde Baru. Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila, kata Ali Moertopo, bukanlah tuhan sebagaimana dipahami agama, melainkan tuhan dalam makna politik. Proses sekularisasi Pancasila mulai dicanangkan. Konsepsi ideologis keagamaan mulai dipinggirkan. Namun pada saat bersamaan, secara bertahap konsepsi mistis-Kejawaan mulai menguat, dan berujung dengan munculnya Eka Prasetya Pancakarsa sebagai pedoman pelaksanaan Pancasila melalui Ketetapan MPR tahun 1978, meskipun ditentang keras oleh PPP. Sekularisme dan Javanisme seakan menemukan titik temu dan saling mendukung. Kebatinan Jawa mendapat baju baru yang dinamai Aliran Kepercayaan, sehingga terkesan mendapat legitimasi konstitusional di dalam Pasal 29 UUD 1945. Status Aliran Kepercayaan hampir-hampir mendapat perlakuan setara dengan agama. Soeharto, Ali Moertopo dan Sudjono Humardani berada di balik semua ini. Zahid Hussein, salah seorang pejabat di Sekretariat Negara, menjadi operator penyebar-luasannya.
Orang-orang eks Masyumi dan para pengikutnya sangat khawatir dengan sekularisasi Pancasila dan menguatnya Aliran Kepercayaan ini. Di mata mereka, dibalik semua ini ada grand-design untuk mengelaminir Islam dengan berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan luar, dan kepentingan agama tertentu yang memanfaatkan Soeharto dan Orde Baru. Kelompok ini bukan saja memegang posisi-posisi strategis militer, tetapi juga menguasai pos-pos penting di bidang perekonomian dalam berbagai kabinet Orde Baru. Di kalangan eks Masyumi ada anggapan bahwa militer telah dijauhkan dari Islam. Maraden Panggabean, Soedomo dan Benny Moerdani yang semuanya non Muslim, memainkan peranan penting dan menentukan. Di masa itu ada kesan, bahwa perwira militer yang taat menjalankan agama Islam, sulit untuk mendapatkan promosi. Susilo Bambang Yudhoyono ketika masih perwira menengah juga mengalami nasib yang sama. Dia dianggap sebagai perwira yang taat menjalankan agama Islam, sehingga beberapa kali promosinya dihambat Benny Moredani. Demikian pula Radius Prawiro, Sumarlin, Adrianus Mooy, dan Sudrajat Djiwandono yang semuanya non-Muslim, cukup lama menduduki posisi kunci pos-pos ekonomi kabinet Orde Baru. Arsitek utama ekonomi Orde Baru, Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana, meskipun Muslim, dikenal sangat jauh dari Islam.
Orang-orang eks Masyumi berpikir bahwa jika Aliran Kepercayaan diformalkan, dan seluruh orang Jawa Abangan dikelompokkan sebagai penganut Aliran Kepercayaan dan bukan Muslim, maka Islam di Indonesia bukan saja akan menjadi minoritas dalam politik dan ekonomi, tetapi juga minoritas dalam jumlah. Indonesia tak dapat lagi menyatakan dirinya sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Kekhwatiran ini terasa di mana-mana. Kegiatan dakwah makin gencar dilaksanakan, terutama di kampus-kampus dan kantor-kantor pemerintah untuk mengimbangi kecenderungan anti Islam dalam kebijakan Orde Baru. Istilah Ekstrim Kanan (Islam iedologis) dan Ekstrim Kiri (Komunis) menjadi istilah umum yang selalu dikatakan sebagai bahaya laten yang akan memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Dakwah yang luar biasa gencarnya itu akhirnya mendorong pula suatu perubahan. Secara politik Islam dikalahkan, namun kesadaran keislaman terasa makin menguat di mana-mana. Kesempatan pendidikan yang luas yang diberikan oleh Orde Baru telah membuka peluang anak-anak Muslim, dan lebih khusus lagi, anak-anak orang Masyumi untuk menempuh pendidikan. Tanpa disadari jumlah mereka sangat besar. Mereka mulai mengisi jajaran birokrasi, militer dan kekuatan politik yang secara resminya sebenarnya was-was dengan Islam Ideologis dan gerakan politik Islam. Anak-anak orang Masyumi seperti Feisal Tanjung dan Syarwan Hamid mulai menanjak karier militernya. Akbar Tanjung dan Abdul Gafur menjadi tokoh muda Golkar dan Ridwan Saidi menjadi muda tokoh PPP. Di kampus-kampus muncul kaum intelektual yang berasal dari anak-anak orang Masyumi. Keadaan ini mulai menggeser peranan intelektual yang dulunya selalu diklaim dan didominasi oleh orang-orang PSI.
Meskipun telah lahir kekuatan baru Islam yang berwajah non politik, namun tekanan terhadfap Islam terus berlangsung, terutama ketika Dr. Daoed Joesoef — salah seorang tokoh CSIS — diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dia sangat tersohor dengan konsep NKK/BKK dan mengeliminir unsur Islam dalam pendidikan nasional kita. Saya masih ingat suatu ketika, Professor Slamet Imam Santoso dan Professor Selo Sumardjan mengatakan kepada saya kekecewaannya dengan terhadap sikap Pemerintah Orde Baru yang mereka nilai menekan Islam. “Lha, walau saya ini cuma Islam abangan, yang nggak pernah solat, tetapi kalau Islam itu dimacem-macemin, saya juga tidak rela”, kata Professor Selo suatu ketika. Sebagai orang Islam, kata Prof. Selo, “saya merasa tersinggung dengan kebijakan ini”. Saya sangat heran dengan ucapan Prof. Selo, karena selama kami menjadi mahasiswa kami tak pernah merasa beliau dekat dan mempunyai perhatian terhadap Islam.
Prof. Slamet Imam Santoso juga begitu jengkel dengan kebijakan anti Islam Menteri Pendidikan Daoed Joesoef. Beliau bersama-sama Prof. Rasjidi dan Prof. Osman Raliby mengambil inistaif menatar dosen-dosen Agama Islam di UI agar mampu mengajarkan Islam dalam bahasa yang dimengerti oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Gejala serupa nampaknya terjadi di mana-mana. Saya sendiri, yang berlatar belakang pendidikan hukum dan filsafat ikut direkrut untuk mengajarkan Agama Islam dengan pendekatan yang lebih intelektual. Prof. Slamet bersedia memberikan ceramah Agama Islam menjelang solat tarawih di Mesjid Arief Rachman Hakiem UI, walau beliau sendiri tidak ikut tarawih. Sambil bercanda Prof Slamet mengatakan kepada saya “Jelek-jelek Slamet ini dulunya pendukung Masyumi”. Beliau bercerita, suatu ketika diajak oleh Dr. Sudarsono – ayah Juwono Sudarsono – untuk mendukung PSI dengan alasan partai itu didukung kaum intelektual. Pak Slamet bilang, saya menolak, saya lebih senang mendukung Masyumi. Masyumi juga intelektual, tapi merakyat.
Puncak dari sikap anti Islam ideologis dan poltis dari Orde Baru adalah tatkala terjadinya Peristiwa Tanjung Priok yang menyebabkan sejumlah aktivis Islam dibawah pimpinan Amir Biki dibunuh tentara. Pasca peristiwa itu, sejumlah aktivis Islam termasuk AM Fatwa dan Abdul Kadir Jaelani ditangkapi. Abdullah Hehamahuwa dan saya sempat dikejar-kejar tanpa kami tahu apa sebabnya. Sebelum itu berbagai operasi intelejens dibawah komando Benny Moerdani telah merekayasa berbagai gerakan ekstrim seperti Komando Jihad dan pembajakan pesawat terbang Woyla. Suasana sangat mencekam. Saya sendiri ketika itu bekerja di lembaga riset LIPPM yang dipimpin Anwar Harjono. Mohammad Nastsir setiap hari datang berkantor ke lembaga ini. Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem dan Boerhanoeddin Harahap juga sering datang. Pergaulan saya dengan mereka sangat dekat, sehingga sayapun sering dituduh sebagai ekstrim kanan. Setelah mereka ikut menandatangani Petisi 50, banyak pula tokoh-tokoh lain seperti Ali Sadikin dan Hoegeng sering datang. Sejak tahun 1978, kami tegas menentang asas tunggal Pancasila dan P4. Mohammad Natsir memerintahkan saya menyusun argumentasi menolak asas tunggal dan P4. Tulisan saya itu dijadikan bahan berbagai organiasi Islam, termasuk Kongres HMI di Medan yang akhirnya menolak asas tunggal. Sampai P4 dihentikan di masa Presiden Habibie, saya tak pernah mau ikut penataran P4. Ini sama sekali tidak berarti kami menolak Pancasila sebagai falsafah negara. Kami menolak tafsiran sepihak Orde Baru terhadap Pancasila.
Tak ada yang menyangsikan bahwa sikap anti Islam ideologis dan politis di bawah Orde Baru ini tanpa arahan, atau paling tidak di bawah pengetahuan Presiden Soeharto. Soeharto sendiri berasal dari kalangan Jawa Abangan, walau di masa kecil pernah belajar di sekolah Muhammadiyah dan aktif belajar mengaji serta tidur di mesjid di kampungnya. Namun pemahaman Soeharto terhadap agama tergolong minim, begitu juga ketaatannya dalam menjalankan ibadah agama. Sampai akhir dekade tahun 1980-an, rakyat tak pernah tahu apakah beliau mengerjakan solat Jum’at apa tidak. Tak pernah beliau nampak pergi menunaian solat Jum’at di Masjid Baiturrahim di Istana Negara atau mesjid lainnya. Walau begitu, Soeharto selalu mengucapkan salam baik di awal maupun di akhir pidatonya, meskipun di dalam teks pidatonya, ucapan salam itu tidak ada. Soeharto dan Ibu Tien hanya nampak menghadiri acara Nuzul Qur’an di Istana negara, dan peringatan Isra Mi’raj dan Nuzul Qur’an di Mesjid Istiqlal. Dalam ucapan lisannya sehari-hari Soeharto lebih banyak mengutip mutiara-mutiara falsafah Jawa – terutama Ronggowarsito – daripada merujuk kepada khazanah ajaran Islam.
Kesadaran Soeharto terhadap Islam mulai tumbuh ketika usianya kian senja. Dalam Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1985, tanpa diduga Soeharto mengatakan bahwa dia bersyukur pernah mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Padahal kata-kata itu tidak ada dalam teks pidato resminya yang disiapkan Mensesneg Moerdiono. Warga Muhammadiyah seolah mendapat angin segar. Saya mendengar sejak itu ada pengajian agama Islam yang dilakukan diam-diam di rumah Soeharto. Pelan-pelan Soeharto mulai menampakkan sosok keislamannya. Dia mendukung upaya Munawir Sadjzali untuk menciptakan UU Peradilan Agama pada tahun 1989, dan kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam. Dua hal semacam ini hampir mustahil terjadi di awal maupun di pertengahan usia Orde Baru. Di masa itu, setiap pembicaraan mengenai hukum Islam dan lembaga-lembaganya, dengan mudah akan dituduh untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Dalam usia yang menjelang tua, Soeharto mulai menyadari bahwa Islam di Indonesia adalah kekuatan yang tak mungkin diabaikan, apalagi harus ditekan dan dipinggirkan. Orang Jawa, betapun abangan, adalah Muslim. Secara gradual, orang Abangan akan berangsur-angsur menjadi “santri” dengan kesadarannya sendiri. Hasil pembangunan sosial, pendidikan dan ekonomi telah menyebabkan mobilitas vertikal anak-anak Islam dalam jumlah yang besar. Masyumi boleh dihadang, namun anak-anak keluarga Masyumi – seperti telah saya katakan –muncul di kampus-kampus sebagai akademisi yang handal dan berpengaruh. Di kalangan militer, anak-anak orang Masyumi telah menjadi perwira tinggi, demikian pula di jajaran birokrasi. Generasi tua Masyumi memang mulai surut ke belakang, namun anak-anak mereka, termasuk anak-anak ideologisnya mulai muncul ke permukaan. Mereka membawa kesadaran baru tentang Islam. Tidak selalu berwajah politik, kadangkala lebih bersifat kultural dan intelektual. Namun dampak dari semua ini ke dalam politik akan terasa juga.
Menghadapi fenomena baru yang terjadi di akhir dekade 80-an dan awal 90, Soeharto mulai mendekat dan mengakomodasi Islam, walau tetap hati-hati pada kemunculan kekuatan ideologis dan politisnya. Dia merestui kelahiran ICMI dan memberi kesempatan kepada BJ Habibie untuk memimpin organisasi itu. Dia pergi haji, suatu hal yang tak terbayangkan akan dilakukannya. Soeharto juga mendirikan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila untuk mendukung pembangunan masjid di seluruh pelosok tanah air. Dia juga mendukung berdirinya Bank Muamalat, sebagai simbol bahwa Islam mulai merambah ke bidang ekonomi. Perubahan arah politik Orde Baru di saat menjelang akhir keruntuhannya, tentu menimbulkan ketidaksenangan kelompok-kelompok sekular-pragmatis dan kelompok-kelompok non Muslim, yang selama ini telah memanfaatkan Orde Baru untuk keuntungan mereka sendiri. Keadaan ini, sebenarnya adalah suatu evolusi sosial yang tak terhindari. Semakin tua, Soeharto semakin menyadari kenyataan bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Soeharto mulai sembahyang Jum’at di Mesjid Baiturrahim, suatu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Di luar dirinya, dia menyaksikan tumbuhnya kekuatan baru Islam yang lebih segar, tidak berwajah terlalu politis seperti yang dikhawatirkannya, namun potensinya untuk memberikan warna keislaman pada wajah keindonesiaan cukup besar dan potensial.
Saya sendiri hampir tidak percaya ketika di akhir tahun 1994, saya direkrut oleh Sekretariat Negara, lembaga yang di masa itu terasa menakutkan, dan terkesan sangat jauh dari Islam. Sebagai anak Masyumi yang selalu dicurigai sebagai ekstrim kanan yang kritis terhadap Orde Baru dan mantan aktivis mahasiswa yang diskors oleh Menteri Daoed Joesof, tentu merasa heran dengan tawaran ini. Saya merasa perlu berkonsultasi dengan Anwar Harjono sebelum menerima tawaran itu, dan beliau mengatakan terima saja dengan mengucapkan Bismillah. Moerdiono, Mensesneg ketika itu mengatakan kepada saya bahwa Presiden Soeharto suatu ketika mengatakan kepadanya bahwa“Yusril itu, orangnya Natsir”. Moerdiono mengiyakan, tetapi dia juga mengatakan kepada Presiden Soeharto bahwa saya masih muda danbekerja secara profesional. Saya menyaksikan perubahan kebijakan Orde Baru terhadap Islam. Pada dasarnya saya tak memusuhi seseorang dan kelompok, tetapi bisa saja menentang kebijakannya yang tidak saya setujui. Karena itu jika kebijakan berubah dan prilaku juga berubah, saya merasa tak cukup alasan lagi untuk terus menentang.
Sedikit banyak, saya ikut memberikan warna Islam pada ucapan dan kebijakan yang dijalankan Pemerintah saat itu. Pancasila yang semula ditafsirkan sangat dekat dengan Kebatinan Jawa, secara perlahan mulai bergeser ke arah penafsiran yang sejalan dengan asas-asas Islam. Bersamaan dengan itu, proses demokratisasi juga harus didorong. Walau saya menyadari bahwa jika demokratisasi berjalan, maka sendi-sendi Orde Baru yang justru dibangun dan ditopang dengan pemerintahan semi-otoriter, pelan-pelan akan menjadi kekuatan yang akan meruntuhkan dirinya dari dalam. Hal ini lumrah jika terjadi, karena kekuatan yang didukung dengan cara-cara tidak demokratis, mustahil akan bertahan jika cara-cara yang demokratis mulai dilaksanakan.
Namun perubahan kebijakan Orde Baru terhadap Islam terjadi pada saat-saat akhir menjelang keruntuhannya. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997, meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian nasional. Keruntuhan ekonomi, dengan sendirinya akan berimbas pada keruntuhan kekuatan politik yang memerintah. Dalam situasi itu, menjelang Pemilu 1997, Presiden Soeharto telah menyinggung kemungkinan dirinya “lengser keprabon, madeg pandito”, yakni mengundurkan diri dan hidup menjadi orang bijak. Namun para pendukung setianya tetap menginginkan dia bertahan. Presiden Soeharto yang sudah terlalu lama berkuasa, mulai meragukan kemampuan pemimpin penerus, apakah mampu melanjutkan segala kebijakan yang telah dilakukannya. Sementara para pendukung setia, juga menggantungkan nasib dan posisinya pada kepemimpinannya. Ketika dipilih kembali tahun 1997, Soeharto mulai salah melangkah. Dia mengangkat Siti Hardiyanti Indra Rukmana putrinya sendiri dan Bob Hasan sebagai menteri. Langkah ini menuai kritik dan menunjukkan tindakan yang mulai kurang bijaksana. Dari seorang jendral yang cerdas dan ahli strategi, di masa tua Soeharto mulai kurang hati-hati. Bagaimanapun juga, usia akan menggerogoti manusia.
Dalam suasana krisis ekonomi dan politik yang mulai mengancam stabilitas pemerintahannya, para aktivis Reformasi mulai mengecam segala kesalahan kebijakannya, terutama terkait dengan maraknya KKN di masa pemerintahannya. Dalam situasi krisis yang makin dalam, kerusuhan terjadi di berbagai tempat, satu demi satu Presiden Soeharto mulai ditinggalkan para pendukungnya yang setia. Akhirnya dia seperti sendirian, ketika Saadillah Mursyid dan saya menemuinya padamalam tanggal 20 Mei 1998, dan Presiden Soeharto mengatakan akan berhenti keesokan harinya, setelah berbagai upaya untuk membentuk pemerintahan transisi – termasuk pembentukan Komite Reformasi dan mempercepat Pemilu – gagal mendapat sambutan. Sejumlah menteri menyatakan mundur dan tidak bersedia duduk dalam kabinet baru.Posisi Soeharto terdesak. Inilah titik akhir perjalanan Orde Baru dan titik akhir karier Soeharto. Namun bukan titik akhir perjalanan Islam sebagai kekuatan sosial dan politik di tanah air. Islam telah, sedang dan tetap akan memainkan peranannya dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara kita, kini dan mendatang, baik dalam bentuk formal ideologis dan politis maupun dalam bentuknya yang lain.
Wallahu’alam bissawwab.
Prof. Yusril Ihza Mahendra
Catatan:
Tulisan ini dibuat atas permintaan Harian Republika dan telah dimuat oleh koran itu. Saya merevisi beberapa bagian, sebelum diposting di blog ini.
Sumber:
Sumber:
Ketika memberikan materi Termofisika dalam perkuliahan, saya selalu mengawali dengan meminta mahasiswa menggosokkan kedua telapak tangannya dan menanyakan apa yang dirasakan kedua telapak tangannya sesaat setelah digosokkan. Serentak mereka menjawab terasa hangat.
Dalam ilmu fisika, panas adalah resultan energi kinetik dari partikel-partikel penyusun suatu benda. Suatu keadaan disebut semakin panas jika resultan energi kinetik partikelnya semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya keadaan disebut semakin dingin jika resultan energi kinetiknya semakin kecil.
Tidak seperti energi potensial yang ada pada suatu benda bermassa akibat adaya gravitasi dan ketinggian, maka Energi kinetik adalah energi yang dihasilkan dari adanya gerakan benda tersebut. Energi kinetik akan bernilai nol jika benda tak bergerak, sebesar apapun massa dari benda tersebut. Energi kinetik ini dirumuskan dengan Ek = 1/2(mv^2). Kecepatan suatu benda akan sangat mempengaruhi besarnya energi kinetik yang dihasilkan. Jika anda tak percaya, silakan meminta seseorang melempar bola kasti ke badan anda dengan kecepatan tinggi dan pada kesempatan lain melempar bola basket dengan kecepatan sangat rendah. Anda akan merasakan sakit yang lebih hebat karena benturan bola kasti tersebut dengan badan anda.
Kembali ke topik panas dingin ...
Besaran fisika yang mengukur panas-dinginnya suatu keadaan atau benda dinamakan SUHU dan dinyatakan dengan satuan derajat celcius atau derajat fahrenheit. Semakin besar panas suatu benda, maka suhunya akan tinggi pula tentunya. Istilah dingin sendiri sebenarnya penyederhanaan istilah dari ketiadaan panas atau berkurangnya panas. Jadi jika suatu partikel tidak bergerak sama sekali, maka kita namakan dingin. Persis seperti seorang pria yang tidak tergerak sama sekali ketertarikannya ketika ada seorang wanita yang berulangkali tebar pesona, maka pria tersebut disebut sebagai pria dingin :) Pemahaman tentang konsep panas dingin atau suhu ini tentunya bisa menjelaskan kepada kita mengapa tatkala seorang wanita menggemgam tangan seorang pria yang dicintai maka tangannya menjadi terasa hangat. Beda halnya jika yang digenggam tangannya adalah sesama wanita.
Secara alami, keadaan Panas suatu benda bisa berubah jika benda tersebut berada di sekitar benda lain yang suhunya lebih kecil. Perpindahan ini bisa melalui konduksi, konveksi atau radiasi. Maka tidak heran jika telapak kaki kita menjadi terasa dingin ketika kita menginjak lantai yang suhunya lebih rendah dari tubuh kita. Perpindahan alami kalor (istilah untuk 'panas' yang berpindah) ini berlangsung hingga memenuhi titik kesetimbangan suhu. Jika perbedaan suhunya semakin besar, maka secara alami perpindahan kalor akan semakin lama pula. Huukum Termodinamika ke nol sudah menjelaskan tentang hal ini.
Lalu bagaimana agar kalor dapat berpindah secara lebih cepat? Tentu saja dengan memberikan suhu lingkungan yang jauh lebih kecil. Sebagai misal seorang tukang Pandai Besi akan mencelupkan pedang yang ditempanya dengan cara memasukkan ke dalam air. Namun satu hal yang perlu diingat adalah bahwa mengharapkan perpindahan kalor secara cepat suatu benda panas dengan treatment tadi akan berisiko terhadap benda tersebut. Jika tidak dilakukan dengan perlahan dan menggunakan kaidah tertentu, maka bisa menyebabkan benda menjadi rapuh karena terjadi distorsi. Pedang seorang Pandai Besi tadi bisa menjadi rapuh jika dicelupkan langsung ke air es, bukan air biasa.
Lalu apa kaitannya panas-dingin dengan Kampung Pulo yang terkena gusuran pemerintah DKI Jakarta dibawah kepemimpinan Ahok?
Kita ketahui bersama bahwa komunitas Kampung Pulo sudah terbentuk sejak lama. Bahkan sebelum kemerdekaan republik ini. Komunitas ini membentuk perilaku sosial yang tak hanya menyangkut aspek ekonomi, namun juga aspek psikologi, budaya, kenyamanan, rasa aman, dan model interaksi sosial lainnya. Persis seperti masyarakat urban yang sudah lama tinggal di suatu komplek-komplek perumahan atau seorang dokter berprestasi yang sudah beraktivitas lama di kota besar pulau Jawa.
Apakah seorang dokter sudah cukup terpenuhi kebutuhannya ketika ia harus diwajibkan bertugas di pedalaman dengan hanya diberikan gaji yang tinggi? Bagaimana dengan keberlangsungan pendidikan anak-anaknya? Apakah Dokter tersebut mampu menikmati sisa hidupnya di pedalaman ketika berpenghasilan tinggi dan harus jauh dari anak-anaknya ketika memilih teprisah karena di pedalaman tidak ada jaminan pendidikan yang bagus untuk anak-anaknya dan menginginkan anak-anakna untuk tetap bersekolah yang mutunya sudah teruji di kota besar yang ditinggalkannya? Apakah dokter tersebut akan mudah membentuk kreasi di komunitas baru pedalaman yang selama ini mampu ia lakukan ketika berada di komunitas lamanya?
Kondisi ini persis pula yang dialami oleh masyarakat Kampung Pulo. Apa yang terjadi ketika masyarakat Kampung Pulo dipindahkan (dengan paksa) ke tempat lain? Apakah dengan ganti rugi finansial sudah cukup mewakili kebutuhan kehidupan sosial mereka? Bagaimana kelangsungan ekonominya ketika mereka harus berada jauh dari lapak-lapak dagangannya atau membuat lapak dagangan baru di tempat barunya yang disediakan pemerintah (jika disediakan)?
Perpindahan komunitas masyarakat Kampung Pulo persis halnya seperti mendinginkan pedang panas oleh tukang besi ke dalam air. Jika tidak hati-hati dan dilakukan dengan analisis yang lebih holistik maka bisa menyebabkan keretakan atau distorsi. Dan kita semua tahu, bahwa kejadian penggusuran beberapa hari lalu kembali menyisakan korban. Terjadi distorsi yang luar biasa antara kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah.
Logika sederhananya adalah bahwa ketika kenyataanya masyarakat masih protes keras dengan penggusuran berarti ada diskusi atau kesepakatan yang belum tuntas antara masyarakat dan pemerintah. Terjadi ketimpangan cara pikir antara masyarakat yang mengalami berpikir secara holistik dari semua aspek, sementara pemerintah hanya berpikir untung-rugi atau dari sisi ekonomi saja. Pemerintah seharusnya lebih memahami bahwa persoalan perpindahan sebuah komunitas masyarakat tidak hanya sekadar persoalan ganti rugi finansial belaka.
Masyarakat Kampung Pulo sudah lama beraktifitas. 'Energi kinetik' mereka sudah berjalan sejak lama di segala bidang. Mereka sudah berkehidupan dengan penuh kehangatan. Maka jangan memaksa mendinginkan kehangatan mereka dengan cara-cara yang menyebabkan distorsi. Benda saja jika didinginkan dengan terpaksa bisa mengalami distorsi, apatah lagi sekelompok manusia yang punya hati. Ketika kehangatan kehidupan mereka dipaksa menjadi dingin, maka hati mereka bisa terluka bahkan hancur.
Semoga saja Ahok dan jajarannya lebih mampu memahami keadaan masyarakat ploretar kelas bawah seperti masyarakat Kampung Pulo dengan cara berpikir yang lebih holistik, menganalisis dari segala aspek dan bidang. Ayo Ko Ahok, jangan kalah sama seorang Pandai Besi, lebih mudahlah berpikir menemukan solusi yang lebih efektif untuk mendinginkan masyarakat Kampung Pulo, semudah anda mengeluarkan kata-kata dalam Frase Umum Ciri Ko seperti b*****t, t*i, atau n*****g.
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS at-Taubah [9]: 71)
Kaidah input, proses, dan output disepakati di semua bidang ilmu apapun. Input adalah sesuatu yang akan diberikan perlakuan. Proses adalah aktivitas yang memberikan perlakuan. Sementara output adalah hasil dari perlakuan.
Air dingin yang dimasak akan menghasilkan air panas. Mahasiswa yang belajar di kampus akan menghasilkan sarjana. Air dingin dan mahasiswa adalah input, memasak dan belajar adalah proses, sementara air panas dan sarjana adalah output.
Input yang baik jika diproses dengan cara yang baik, maka akan menghasilkan output yang baik pula. Input yang baik jika diproses dengan cara yang jelek, maka akan menghasilkan output yang tidak lebih baik.
Sebaliknya, input yang jelek jika diproses dengan baik maka akan menghasilkan output yang lebih baik. Input yang jelek jika diproses dengan jelek maka akan menghasilkan output yang semakin jelek.
Begitu pula halnya dengan Pilpres baru lalu. Konstituen atau pemilh dapat diibaratkan sebagai input. Sementara proses pemilu seperti penentuan DPT, pencoblosan, dan rekapitulasi dilakukan oleh KPU. Outputnya adalah hasil pemilu.
Anggaplah para pemilih yang tak lain seluruh masyarakat adalah input yang baik. Jika KPU sebagai penyelenggara tidak melakukan proses pemilu yang baik, maka hampir dipastikan hasil pemilu akan jelek pula. Artinya produk pemimpin yang dihasilkan adalah pemimpin yang jelek.
Sebaliknya, jika KPU melakukan proses pemilu yang baik, maka hasil pemilu akan menjadi baik pula dan menelurkan seorang pemimpin yang baik.
Seberapa baik KPU melakukan proses pemilu kali ini? Saya yakin semua dari kita sudah dapat menilainya. Kita bisa melakukan analisis komparasi dengan penyelenggaraan pemilu-pemilu sebelumnya.
Semoga kualitas KPU dalam penyelenggaraan pemilu ke depan semakin lebih baik agar bangsa ini dapat dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Dan pemilu yang baik itu adalah pemilu yang penuh kejujuran dan keadilan.
"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi." (Al Muthaffifiin [83]: 1-3)
wallahu a'lam...
Palestina, air matamu adalah rahasia-Nya ...
Ya Rabb ...
Aku ingin berkata sederhana ...
Aku ingin melupakan keinginanku ...
Aku ingin mengabaikan rasa laparku ...
Aku ingin mengabaikan sahabat-sahabatku di sini sejenak ...
Aku ingin melupakan perbedaan antara aku dan sekelilingku ...
Saat ini ...
Aku ingin memohon ampun atas ketidakberdayaanku pada saudaraku di Palestina
Aku haru dan runtuhkan air mata pada seluruh panjat doaku
Namun aku menjadi sangat fakir dengan keterbatasanku ini
Ampuni aku Ya Allah ...
Aku hanya mampu berdoa pada Saudaraku di Palestina yang bahkan untuk menghela nafas sesaatpun begitu sulit ...
Aku hanya bisa menahan amarah berat di kerongkongan atas apa yang aku dengar, lihat dan rasakan ...
Aku hanyalah fakir yang menghitam legam pada keangkuhan diri ketika melihat tubuh kecil anak-anak Palestina berdiri tegap menjadi perisai kehormatan ... sementara aku di sini masih bernafas lega mengumbar senyum kehidupan dan masih sering mengingkari nikmat kebebasan hidup yang tlah Engkau berikan ...
Ampuni aku Ya Allah ...
Runtuhan air mata diri ini tak kan cukup mengimbangi perjuangan bunda-bunda di Palestina yang bahkan tak lagi dapat mengukur berapa banyak lagi sisa air mata yang akan mereka runtuhkan ke bumi mereka ...
Ampuni aku Ya Allah ...
walau segalanya adalah rahasiaMu jua,
ijinkan hambaMu yang dhaif ini tuk memohon melebarkan kecerahan indahnya kehidupan Saudaraku di Palestina
agar mereka lebih leluasa menghirup sejuknya embun pagi,
agar mereka lebih leluasa merasakan kehangatan mentari,
agar mereka lebih leluasa menyambut senja yang menentramkan,
dan agar mereka dapat tidur dalam malam bersama bintang-bintang yang mendamaikan ...
hingga entah kapan di suatu masa,
anak-anak Palestina leluasa bermain dan bermanja dengan ibunya,
bunda-bunda Palestina leluasa menyiapkan hidangan pagi di rumah surganya,
dan sang ayah leluasa mencium kening istrinya dan menggendong mutiara indahnya tuk menunaikan ibadah mencari nafkah di bumi-Mu Ya Rabb ...
Salah satu budaya di desa saya ketika kondangan adalah beras dijadikan 'transaksi angpao kondangan' oleh para undangan dan pemilik hajat. Beras ini akan dikembalikan dengan jumlah yang sama ketika para undangan pada suatu saat nanti menjadi sebagai pemilik hajat. Dengan kata lain, proses 'kondangan beras' di desa saya bisa dikatakan sebagai bentuk arisan.
Ada satu hal menarik yang kita bisa cermati dari pola kondangan beras tersebut. Mengapa mereka memilih beras, bukan uang sebagai 'media arisan kondangan'. Hal ini bisa jadi karena dilatarbelakangi oleh para orang terdahulu sudah meyakni bahwa nilai beras tidak akan berubah sementara nilai uang sebagai alat tukar bisa berubah.
Ketika Si A memberikan 100 kg beras sebagai kondangan saat diundang hajatan oleh Si B, maka ketika Si A mengadakan hajatan semisal 5 tahun kemudian, Si B pun akan memberikan kondangan 100 kg beras pula dengan kualitas yang sama.
Coba kita bayangkan jika Si A memberikan uang senilai Rp 500.000 sebagai pengganti 100 kg beras saat kondangan itu, dan si B pun memberikan Rp 500.000 pada 5 tahun kemudian di hajatan Si A. Maka 'nilai uang 500 ribu' si B pasti lebih rendah dari Si A.
Namun sepertinya pada kalangan remaja atau generasi zaman sekarang justru nilai-nilai kepahaman dari generasi terdahulu di kampung tentang uang sebagai sekedar alat tukar ternyata mulai berubah. Generasi sekarang hanya ingin berfikir praktis, tidak mau repot membawa beras. Padahal justru perubahan dari beras ke uang dalam sistem kondangan arisan di kampung malah akan menjadi persoalan baru dalam berkehidupan masyarakat.
Tragedi Yunani adalah salah satu dari dampak global akibat uang dijadikan sebagai komoditi bukan sebagai alat tukar sementara. Uang kertas yang tak bernilai dicetak untuk dibungakan. Bahkan alat tukar pun seharusnya senilai dengan barang atau jasa yang kita transaksikan.
Uang terus menerus dicetak dan ditambahkan berlipat-lipat sementara produktivitas barang dan jasa menurun. Akibatnya Yunani terjerat oleh 'perdagangan utang atau pengkomoditian uang' yang harus dibayarkan oleh negara kepada lembaga pemberi utang. Sungguh memprihatinkan.
Video berikut menjelaskan tentang gagalnya sistem ekonomi berbasis Uang Fiat.
Mari kita kembali pada suasana 'zaman dulu' dimana barang dijadikan sebagai sesuatu yang lebih berharga daripada uang. Uang hanya lembaran kertas yang difungsikan sebagai alat tukar. Bukan komoditi. Maka jangan sekali-kali membuat nilai uang menjadi bertambah mengikuti waktu, karena uang bukan 'barang' yang harus dijual-belikan. Dan melipatgandakan nilai uang sangat dekat dengan aktiitas riba atau bahkan riba itu sendiri. Terkecuali uang tersebut dicetak dalam bentuk barang yang berharga seperti kepingan dinar atau logam berharga lain.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan melipat-gandakan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa.” (QS. al-Baqarah [2]: 275-276)
wallahu a'lam
Secara etimologi Istilah ideologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita, buah pikiran dan logos yang berarti ilmu. Jadi, ideologi adalah ilmu pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari idea disamakan artinya dengan cita-cita. Cita-cita yang dimaksud adalah cita-cita yang bersifat tetap yang harus dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat tetap itu sekaligus merupakan dasar, pandangan atau faham. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tentang idea-idea, pengertian dasar, gagasan dan cita-cita. Secara terminologi ideologi adalah suatu kumpulan gagasan, ide, keyakinan serta kepercayaan yang bersifat sistematis yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam berbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, hukum dan lain-lain.
Berikut adalah beberapa ideologi yang ada di dunia dan dipandang telah gagal membawa manusia dalam sebuah kehidupan yang utuh baik secara personal maupun kemasyarakatan dalam sebuah ketercapaian integritas kebutuhan material dan spiritual.
1. Sosialisme

Sosialisme lahir sebagai akibat perkembangan kapitalisme. Sosialisme merupakan suatu paham yang menjadikan kebersamaan sebagai tujuan hidup manusia dan mengutamakan segala aspek kehidupan bersama manusia. Kepentingan bersama dan kepentingan individu harus dikesampingkan. Negara harus selalu campur tangan dalam segala kehidupan, demi tercapainya tujuan negara.
Kesengsaraan kaum buruh akibat penindasan kaum kapitalis menimbulkan pemikiran para cendekiawan untuk mengusahakan perbaikan nasib.
Adapun ciri khas sosialisme sebagai berikut :
- Hak milik pribadi atas alat-alat produksi mesin diakui secara terbatas.
- Mencapai kesejahteraan dengan cara damai dan demokratis.
- Berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dan perbaikan nasib buruh dengan luwes secara bertahap.
- Negara diperlukan selama-lamanya.
Sejak abad ke-19, sosialisme berkembang ke banyak paham-paham yang berbeda seperti anarkisme, komunisme, fasisme, leninisme, stalinisme, maupun maonisme.
2. Anarkisme

Anarkisme sangat berhubungan dengan kekerasan dan Mikhail Bakunin (1814-1876). Ia adalah seorang bangsawan Rusia. Menurutnya, kebebasan individu hanya dapat diwujudkan secara sepenuhnya setelah negara dan lembaga-lembaga penopangnya dapat dihancurleburkan. Anarkisme menjadi suatu pandangan yang berlebihan terhadap kebebasan individu.
Dalam sejarahnya, para anarkis sering kali menggunakan kekerasan sebagai cara yang ampuh untuk memperjuangkan ide-idenya, dipergunakannya cara kekerasan dalam anarkisme sangat berkaitan dengan gerak mereka yang mengesahkan kekerasan, penyerangan, dan pengrusakan.
3. Leninisme

4. Stalinisme

Selanjutnya, pada tahun 1928 Stalin membuat program produksi pertanian secara kebersamaan dan program pembangunan lima tahun pertama di Uni Soviet. Ditambah dengan serangkaian program perkembangan lainnya, Stalin ingin menjadikan Uni Soviet sebagai negara berkekuatan industri sekaligus militer. Akibatnya, jutaan petani menjadi korban program pembangunan Stalin ini.
5. Komunisme
Komunisme merupakan sebuah ideologi dunia yang muncul sebagai reaksi dari kapitalisme. Paham komunisme mendasarkan pada Marxisme dan Leninisme. Dengan begitu, Komunisme adalah Marxisme-Leninisme. Karl Marx, pencetus Marxisme menganggap negara sebagai susunan golongan masyarakat yang dibentuk untuk menindas golongan lain. Pemilik modal menindas kaum buruh. Menurut Karl Marx, kaum buruh perlu membuat revolusi (perubahan secara mendadak) untuk merebut kekuasaan negara dari golongan kapitalis dan borjuis (orang-orang kaya). Dengan cara ini, kaum buruh akan menjadi penguasa dan dapat mengatur negara.
Paham yang dicetuskan oleh Karl Marx ini berhubungan dengan aliran materialisme yang menonjolkan penggolongan, pertentangan antar golongan, konflik kekerasan atau revolusi, serta perebutan kekuasaan negara. Ajaran Karl Marx dipopulerkan oleh Frederick Engels dan dipadu dengan pemikiran Lenin, menjadi landasan komunisme. Marx berpendapat bahwa mata pencaharian manusia menentukan cara berpikirnya. Menurutnya, ekonomi masyarakat ditandai adanya pertentangan antara kelas atas (kaum kapitalis, pemilik modal) dan kelas bawah (kaum protelar) yang hanya memiliki tenaga. Kaum kapitalis ingin meningkatkan keuntungan dengan menekan biaya produksi, adapun kaum protelar berusaha meningkatkan pendapatannya.
Dalam usaha merebut dan mempertahankan kekuasaannya, komunisme melakukan tindakan-tindakan berikut :
- Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
- Menciptakan konflik untuk mengadu golongan-golongan tertentu.
- Komunisme tidak mengakui adanya Tuhan (atheisme), tapi lebih mengutamakan materi.
- Masyarakat komunis bercorak internasional. Artinya, masyarakat yang dicita-citakan komunisme adalah masyarakat dunia, tanpa nasionalisme.
- Komunisme bercita-cita menciptakan masyarakat tanpa kelas. Pertentangan kelas, hak milik pribadi, dan pembagian kerja dianggap akan menjauhkan dari suasana hidup yang aman dan tenteram.
Ciri khas yang melekat pada ideologi komunisme :
- Hak milik pribadi atas alat-alat produksi.
- Dalam mencapai kesejahteraan menghalalkan segala cara, dengan tindakan revolusioner.
- Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara diktator proletariat, terutama pada masa-masa peralihan (transisi).
- Negara hanya diperlukan untuk sementara waktu saja, selama belum mencapai kesejahteraan.
Ideologi komunisme mulai diterapkan saat meletus Revolusi Bolshevik di Rusia, pada tanggal 7 November 1917. Sejak saat itu komunisme diterapkan sebagai sebuah ideologi dan disebarluaskan ke negara lain. Saat ini Tiongkok, Vietnam, Korea Utara, Kuba, dan Laos masih menganut paham komunis.
6. Fasisme
Istilah Fasisme berasal dari bahasa Italia, fascio dan bahasa Latin, kata fascis. Artinya seikat tangkai-tangkai kayu, dengan kapak di tengahnya. Pada zaman kekaisaran Romawi, ikatan kayu ini dipersembahkan di depan pejabat tinggi. Dengan kata lain, fascis menjadi simbol kekuasaan pejabat pemerintah. Fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengutamakan kekuasaan secara menyeluruh, tanpa adanya demokrasi. Paham ini menomorsatukan bangsa sendiri dan memandang rendah bangsa lain. Dapat pula dikatakan, fasisme merupakan suatu sikap nasionalisme yang berlebihan.
Fasisme muncul pertama kali di Italia, dalam wujud Benito Mussolini. Pada abad ke-20, tepatnya setelah Perang Dunia I, keadaan Italia mulai mengeruh. Pada saat itu banyak orang-orang Italia yang menjadi pengangguran. Kondisi ini ditindaklanjuti raja dengan memilih Benito Mussolini sebagai Perdana Menteri. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Mussolini dengan mengubah Republik Italia menuju kediktatoran dengan memonopoli kekuasaan. Sementara itu, fasisme juga muncul di Jerman setelah Perang Dunia I, sebagai negara yang kalah. Pada mulanya muncul kelompok partai National Socialist German Workers (Partai Buruh Nasional Jerman). Partai ini lebih terkenal dengan NAZI, berasal dari dua suku kata pertama kata Nasional. Saat itu angka pengangguran melonjak naik di Jerman. Anggota partai NAZI yang pada tahun 1928 berjumlah 100.000 orang, dengan segera bertambah menjadi 1,4 juta orang pada tahun 1932. Kondisi ini menjadikan pemerintahan berpaling pada Hitler. Ia pun ditunjuk menjadi Kanselir (perdana menteri) pada Januari 1933. Seperti halnya Mussolini, Hitler mengubah parlemen menjadi diktator. Namun demikian, terdapat perbedaan antara fasisme di Italia dengan Nazisme. Jika di Italia fasisme hanya berkisar pada nasionalisme, Nazisme bahkan menjalar pada rasialisme yang sangat kuat. Begitu kuatnya nasionalisme, hingga memusnahkan bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah.
Ciri khas ideologi fasisme sebagai berikut :
- Mengingkari derajat kemanusiaan, Bagi fasisme, keberadaan pria melebihi wanita, militer melebihi sipil, anggota partai melebihi bukan anggota partai, bangsa satu melebihi bangsa lain, dan yang kuat harus melebihi yang lemah. Dengan demikian, fasisme tidak mengakui adanya persamaan kedudukan dan kemanusiaan, tapi lebih mengutamakan kekuatan
- Ketidakpercayaan pada kemampuan nalar, Keyakinan yang berkelebihan merupakan sesuatu yang sudah tentu benar.
- Pemerintahan oleh kelompok elit, Pemerintahan harus dipimpin oleh beberapa orang elit. Jika muncul pertentangan pendapat, keinginan elit yang berlaku.
- Perilaku bertumpu pada kekuasaan dan kebohongan, Jika ada yang berusaha menentang kekuasaan negara, maka dianggap musuh yang harus dimusnahkan. Menurut ideologi ini, kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang, bukan pada kebenaran yang sebenarnya.
- Totalirisme, Fasisme bersifat total untuk menyingkirkan kaum yang dianggap lebih rendah, seperti wanita. Pengawasan yang ketat selalu dilakukan. Totalirisme memakai cara kekerasan.
- Rasialisme dan imperialisme, Fasisme menganggap ras mereka lebih unggul daripada ras lain. Oleh karena itu, ras lain harus tunduk dan dikuasai.
- Menentang hukum dan keterlibatan internasional, Fasisme memilih perang sebagai posisi tertinggi dalam peradaban manusia.
Fasisme juga pernah diterapkan di Jepang, Mesir, Finlandia, Yunani, Austria, dan Bulgaria. Pada tahun 1936, Spanyol diwarnai fasisme di bawah pimpinan Jenderal Fransisco Franco, dengan revolusi militernya. Sekarang, fasisme cenderung tampil sebagai kekuatan reaksioner di negara-negara maju, misalnya Kluk Kluk klan di Amerika Serikat. Mereka berusaha mempertahankan keberadaan kulit putih yang mereka anggap ras paling tinggi.
7. Trotskyisme

Trotsky tidak mendukung kebijakan ekonomi baru kapitalis semu. Kebijakan ini telah dilaksanakan oleh Stalin pada tahun 1921 dan dicetuskan kembali pada tahun 1928 oleh Stalin. Menurut Trotsky, kegagalan kebijakan ekonomi tersebut untuk mempersatukan petani dan menganjurkan semangat borjuis di antara pengusaha kecil. Hal ini merupakan cermin kemunduran dalam perkembangan sosialisme di Rusia. Selanjutnya, Trotsky mencetuskan kembali teori produksi dan distribusi secara kebersamaan, yang diprakarsai oleh negara.
8. Maoisme

Mao Zedong membentuk tentara petani dan menjalankan hal-hal berikut:
- Pendistribusian kembali tanah, tujuannya untuk memberi keuntungan bagi para petani miskin.
- Membatasi eksploitasi petani oleh tuan tanah dan para lintah darat.
- Melembagakan pajak dan program kesejahteraan.
- Memperkuat organisasi politik dan militer komunis.
Sumber:
"Membersihkan Islam dari campur tangan politik."
Slogan di atas sekilas adalah mungkin bermakna memurnikan Islam, atau upaya mengembalikan Islam kepada keasliannya (ashalah-nya). Dan tafsir ini memang yang dikehendaki untuk berkembang di masyarakat awam. Padahal, tafsir si pembuat slogan di atas berbeda.
Mustafa Kemal Ataturk (mantan panglima perang kekhalifahan Turki Utsmani di wilayah Anatolia pada Perang Dunia I antara Kehalifahan Utsmani dan Jerman melawan Inggris, Yunani dan Rusia) yang membuat slogan di atas. Dasar tujuannya adalah memisahkan Islam dengan politik (baca: negara/kekuasaan).
Lalu, untuk mewujudkan impiannya membangun Turki yang modern apakah Ataturk menggunakan cara-cara yang kasar? Revolusi atau kudeta misalnya? Tidak.
Ataturk muncul pada awalnya adalah sebagai 'orang biasa'. Ia kemudian bergabung dengan militer kekhalifahan Utsmani. Gaya kepemimpinannya yang khas, revolusioner, berani, ahli strategi perang dan lainnya, menjadikan karirnya di militer mengalami kecemerlangan. Ia adalah sosok yang menonjol, sehingga rakyat Turki Utsmani saat itu memandang dia sebagai tokoh yang fenomenal.
Ternyata, kefenomenalannya bukan sebuah hal yg alami. Fenomenalnya Ataturk ternyata by designed. Setidaknya, Inggris dan Yahudi-lah yang meng-create seorang Mustafa Kemal Ataturk untuk kemudian menjadi duri dalam daging kekhalifahan Turki Utsmani saat itu.
Masih ingat tentang pernyataan Sultan Abdul Hamid II terhadap permintaan Hertzl (Bapak Zionisme Internasional) dan Inggris untuk menyerahkan wilayah Palestina? Bahkan ia ditawari uang sebesar 150 juta dinar emas (sekitar 270 Trilyun Rupiah), ditawarkan mengenai pelunasan 'hutang negara' yang cukup besar saat itu, juga pendirian Universitas Daulah Utsmaniyah di Palestina dan bantuan armada laut. Ya, jawaban Sultan Abdul Hamid II adalah sebagai berikut:
"Sesungguhnya andaikata tubuhku disayat-sayat dengan pisau atau salah satu anggota badanku dipotong maka itu lebih aku sukai dari pada aku perkenankan kalian tinggal di bumi Palestina yang merupakan negara kaum muslimin. Sesungguhnya bumi Palestina telah direbut dengan pengorbanan darah. Dan sekali-kali bumi itu tidak akan dirampas dari mereka melainkan dengan pertumpahan darah. Dan sungguh Allah telah memuliakanku sehingga dapat berkhidmat kepada agama Islam selama tiga puluh tahun. Dan aku tidak akan mencoreng sejarah para leluhurku dengan aib ini".
Kemudian Sultan Abdul Hamid II melanjutkan, "Simpanlah uangmu itu hai Hertzl! Jika Abdul Hamid telah mati, maka kalian akan mendapatkan negeri Palestina dengan cuma-cuma".
Ternyata, jawaban Sultan Abdul Hamid II kepada Hertzl membuat ia gerah. Kemudian ia bersumpah akan menghilangkan Kekhalifahan Turki Utsmani (baca: Islam) dengan cara apa pun.
Setelah dengan cara kekerasan dan peperangan mengalami kegagalan, Hertzl menggunakan cara spionisasi dan penghancuran dari dalam. Dijadikanlah tokoh fenomenal baru yang sedang naik daun, Mustafa Kemal Ataturk sebagai 'boneka'nya.
Mulailah upaya penghancuran kekhalifahan Turki Utsmani (baca: Islam) dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Kriminalisasi terhadap Sultan Abdul Hamid II selaku pemimpin ummat Islam sedunia. Sultan Abdul Hamid difitnah sebagai koruptor, tukang kawin, diktator dan lain sebagainya. Upaya kriminalisasi ini dilakukan dengan gencar memberitakan fitnah melalui koran-koran pada zamannya saat itu.
2. Perekayasaan sejarah Islam terutama sejarah kekhalifahan Turki Utsmani. Dan rekayasa sejarah ini dibagikan secara masif berupa buku bacaan yang disebar di seluruh negeri muslim saat itu.
3. Menyebarkan citra buruk terhadap Islam. Bahwa Islam itu adalah identik dengan kekerasan dan lainnya. Sehingga masyarakat awam terpedaya bahwa agama adalah tidak penting, yang penting adalah bukti 'kebaikannya' di masyarakat.
4. Dimunculkan paham liberal yang membenarkan semua agama yang berkedok toleransi, hak asasi manusia dan lainnya.
5. Mengidentikkan Islam dengan Arab. Sehingga dijadikan opini umum bahwa Islam adalah Arab dan Arab adalah Islam. Selanjutnya dihembuskan bahwa kebiasaan buruk masyarakat Arab adalah merupakan ajaran Islam.
6. Masyarakat dijauhkan dari nilai-nilai keislaman. Sekolah-sekolah agama dianggap tidak modern dan ketinggalan zaman. Sementara sekolah-sekolah liberal yang menghilangkan simbol bahkan pelajaran agama disebut sebagai sekolah modern.
7. Dimunculkan tokoh dari 'beragama Islam' namun tidak berpemikiran Islam.
8. Penguasaan media/pers. Jika pers orang-orang kafir di Eropa berbicara, maka pers-pers di Kairo harus menyuarakan seperti itu juga.
9. Mengeluarkan stigma bahwa antara politik dan kekuasaan tidak ada hubungan atau tabu jika bergandengan dengan Islam. Islam adalah sakral, yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja.
10. Dan cara lain yang sejenis.
Dan hasilnya, perlahan namun pasti, kekuatan politik Islam melemah. Puncaknya, tahun 1923 Mustafa Kemal Ataturk pun berhasil 'merebut' tampuk kekuasaan Turki saat itu. Dan setahun kemudian, kekhalifahan Turki Utsmani sebagai representasi kepemimpinan umat. Islam sedunia pun runtuh. Dan sudah bisa ditebak kemudian, Palestina pun jatuh ke tangan Zionis dan segera mendeklarasikan negara Israel.
Apa hubungannya dengan Indonesia? Jika kita mau jujur dan memperhatikan, apa yang sedang dialami oleh ibu pertiwi, terutama umat Islam bangsa Indonesia saat ini adalah bahwa kita sedang dalam skenario global yang sama persis dengan proses sekulerisasi Turki tahun 1900-an dulu.
Kita ingat banyak tokoh Islam Indonesia dikriminalisasi dengan korupsi, kekerasan, perkawinan dan lainnya. Lembaga dan organisasi-organisasi Islam dicekoki dengan ego organisasi dan atau penghancuran citranya. Penguasaan media ditambah dengan rekayasa berita. Dimunculkannya tokoh-tokoh boneka yang mendadak 'pro rakyat' dan seterusnya dan seterusnya. Skenarionya sama persis kan?
Pertanyaannya kemudian adalah apakah ini adalah kebetulan?
“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (QS al-Anfal [8]: 30)
“Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri.” (QS Fathir [35]: 43)
Sumber: Peduli Fakta
Slogan di atas sekilas adalah mungkin bermakna memurnikan Islam, atau upaya mengembalikan Islam kepada keasliannya (ashalah-nya). Dan tafsir ini memang yang dikehendaki untuk berkembang di masyarakat awam. Padahal, tafsir si pembuat slogan di atas berbeda.
Mustafa Kemal Ataturk (mantan panglima perang kekhalifahan Turki Utsmani di wilayah Anatolia pada Perang Dunia I antara Kehalifahan Utsmani dan Jerman melawan Inggris, Yunani dan Rusia) yang membuat slogan di atas. Dasar tujuannya adalah memisahkan Islam dengan politik (baca: negara/kekuasaan).
Lalu, untuk mewujudkan impiannya membangun Turki yang modern apakah Ataturk menggunakan cara-cara yang kasar? Revolusi atau kudeta misalnya? Tidak.
Ataturk muncul pada awalnya adalah sebagai 'orang biasa'. Ia kemudian bergabung dengan militer kekhalifahan Utsmani. Gaya kepemimpinannya yang khas, revolusioner, berani, ahli strategi perang dan lainnya, menjadikan karirnya di militer mengalami kecemerlangan. Ia adalah sosok yang menonjol, sehingga rakyat Turki Utsmani saat itu memandang dia sebagai tokoh yang fenomenal.
Ternyata, kefenomenalannya bukan sebuah hal yg alami. Fenomenalnya Ataturk ternyata by designed. Setidaknya, Inggris dan Yahudi-lah yang meng-create seorang Mustafa Kemal Ataturk untuk kemudian menjadi duri dalam daging kekhalifahan Turki Utsmani saat itu.
Masih ingat tentang pernyataan Sultan Abdul Hamid II terhadap permintaan Hertzl (Bapak Zionisme Internasional) dan Inggris untuk menyerahkan wilayah Palestina? Bahkan ia ditawari uang sebesar 150 juta dinar emas (sekitar 270 Trilyun Rupiah), ditawarkan mengenai pelunasan 'hutang negara' yang cukup besar saat itu, juga pendirian Universitas Daulah Utsmaniyah di Palestina dan bantuan armada laut. Ya, jawaban Sultan Abdul Hamid II adalah sebagai berikut:
"Sesungguhnya andaikata tubuhku disayat-sayat dengan pisau atau salah satu anggota badanku dipotong maka itu lebih aku sukai dari pada aku perkenankan kalian tinggal di bumi Palestina yang merupakan negara kaum muslimin. Sesungguhnya bumi Palestina telah direbut dengan pengorbanan darah. Dan sekali-kali bumi itu tidak akan dirampas dari mereka melainkan dengan pertumpahan darah. Dan sungguh Allah telah memuliakanku sehingga dapat berkhidmat kepada agama Islam selama tiga puluh tahun. Dan aku tidak akan mencoreng sejarah para leluhurku dengan aib ini".
Kemudian Sultan Abdul Hamid II melanjutkan, "Simpanlah uangmu itu hai Hertzl! Jika Abdul Hamid telah mati, maka kalian akan mendapatkan negeri Palestina dengan cuma-cuma".
Ternyata, jawaban Sultan Abdul Hamid II kepada Hertzl membuat ia gerah. Kemudian ia bersumpah akan menghilangkan Kekhalifahan Turki Utsmani (baca: Islam) dengan cara apa pun.
Setelah dengan cara kekerasan dan peperangan mengalami kegagalan, Hertzl menggunakan cara spionisasi dan penghancuran dari dalam. Dijadikanlah tokoh fenomenal baru yang sedang naik daun, Mustafa Kemal Ataturk sebagai 'boneka'nya.
Mulailah upaya penghancuran kekhalifahan Turki Utsmani (baca: Islam) dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Kriminalisasi terhadap Sultan Abdul Hamid II selaku pemimpin ummat Islam sedunia. Sultan Abdul Hamid difitnah sebagai koruptor, tukang kawin, diktator dan lain sebagainya. Upaya kriminalisasi ini dilakukan dengan gencar memberitakan fitnah melalui koran-koran pada zamannya saat itu.
2. Perekayasaan sejarah Islam terutama sejarah kekhalifahan Turki Utsmani. Dan rekayasa sejarah ini dibagikan secara masif berupa buku bacaan yang disebar di seluruh negeri muslim saat itu.
3. Menyebarkan citra buruk terhadap Islam. Bahwa Islam itu adalah identik dengan kekerasan dan lainnya. Sehingga masyarakat awam terpedaya bahwa agama adalah tidak penting, yang penting adalah bukti 'kebaikannya' di masyarakat.
4. Dimunculkan paham liberal yang membenarkan semua agama yang berkedok toleransi, hak asasi manusia dan lainnya.
5. Mengidentikkan Islam dengan Arab. Sehingga dijadikan opini umum bahwa Islam adalah Arab dan Arab adalah Islam. Selanjutnya dihembuskan bahwa kebiasaan buruk masyarakat Arab adalah merupakan ajaran Islam.
6. Masyarakat dijauhkan dari nilai-nilai keislaman. Sekolah-sekolah agama dianggap tidak modern dan ketinggalan zaman. Sementara sekolah-sekolah liberal yang menghilangkan simbol bahkan pelajaran agama disebut sebagai sekolah modern.
7. Dimunculkan tokoh dari 'beragama Islam' namun tidak berpemikiran Islam.
8. Penguasaan media/pers. Jika pers orang-orang kafir di Eropa berbicara, maka pers-pers di Kairo harus menyuarakan seperti itu juga.
9. Mengeluarkan stigma bahwa antara politik dan kekuasaan tidak ada hubungan atau tabu jika bergandengan dengan Islam. Islam adalah sakral, yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja.
10. Dan cara lain yang sejenis.
Dan hasilnya, perlahan namun pasti, kekuatan politik Islam melemah. Puncaknya, tahun 1923 Mustafa Kemal Ataturk pun berhasil 'merebut' tampuk kekuasaan Turki saat itu. Dan setahun kemudian, kekhalifahan Turki Utsmani sebagai representasi kepemimpinan umat. Islam sedunia pun runtuh. Dan sudah bisa ditebak kemudian, Palestina pun jatuh ke tangan Zionis dan segera mendeklarasikan negara Israel.
Apa hubungannya dengan Indonesia? Jika kita mau jujur dan memperhatikan, apa yang sedang dialami oleh ibu pertiwi, terutama umat Islam bangsa Indonesia saat ini adalah bahwa kita sedang dalam skenario global yang sama persis dengan proses sekulerisasi Turki tahun 1900-an dulu.
Kita ingat banyak tokoh Islam Indonesia dikriminalisasi dengan korupsi, kekerasan, perkawinan dan lainnya. Lembaga dan organisasi-organisasi Islam dicekoki dengan ego organisasi dan atau penghancuran citranya. Penguasaan media ditambah dengan rekayasa berita. Dimunculkannya tokoh-tokoh boneka yang mendadak 'pro rakyat' dan seterusnya dan seterusnya. Skenarionya sama persis kan?
Pertanyaannya kemudian adalah apakah ini adalah kebetulan?
“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (QS al-Anfal [8]: 30)
“Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri.” (QS Fathir [35]: 43)
Sumber: Peduli Fakta